Header Ads

INDIKATOR SUKSES KEHIDUPAN





 “Emmm… Pak, kecepatannya seratus saja,” kata saya kepada pak sopir. “Saya takut kalau cepet-cepet…,” kata saya lagi, menegaskan permintaan tadi.
Supir rental langganan ini makin hafal dengan keinginan saya itu. Mungkin beliau bete juga, tol Bandung - Jakarta ruas Bandung - Cikampek itu tampak sepi, namun dia tidak bisa ngebut supaya lebih cepat sampai. Penumpangnya gampang cemas dengan kecepatan tinggi.
Ya, begitulah saya, si penumpang itu. Pak supir mungkin yakin dengan mobilnya dan memang menyetir dengan kecepatan tinggi itu mengasyikkan. Namun pak supir mungkin belum mengalami apa yang saya alami. Beberapa tahun lalu saya melihat kecelakaan di tol tepat di depan mata. Sebuah minibus tiba-tiba pecah ban pada kecepatan tinggi, oleng ke kanan, menabrak pembatas jalan, lalu terbang vertikal ke udara, kemudian.. bum! Jatuh terhempas ringsek menghantam jalan. Penumpangnya berceceran keluar, ada yang masih terdengar merintih.. Allah… Allah.. Allah…. Ada yang tertelungkup diam tak bergeming, entah pingsan, entah tewas. Saya yang waktu itu ingin sekali menolong, merasa amat dilematis. Ada anak kecil di mobil saya, tampaknya akan mengguncang dia kalau membawa korban berlumuran darah ke dalam mobil kami. Yang saya lakukan kemudian adalah menelpon petugas tol untuk segera mengirim pertolongan, sambil menyesali kegugupan saya dalam menghadapi situasi mendadak seperti itu. Sejak saat itu saya selalu memakai sabuk pengaman di jalan tol, jauh sebelum hal itu diresmikan menjadi aturan kewajiban.
“Tubrukan pada kecepatan 100 km/jam itu kira-kira sama dengan jatuh dari tingkat 10 gedung,” demikian ilustrasi saya kepada teman yang agak heran dengan permintaan saya ke pak supir. Abaikan tentang rem. Kalau pecah ban depan, rem jadi tidak berguna.Karena itu saya selalu ngeri di kecepatan tinggi. Batas kecepatan biasanya di angka 80 km/jam. Lebih dari itu, sinyal peringatan mulai berdengung di dalam kepala. Saya memang penakut.
Bagaimana kita bisa tahu berapa kecepatan mobil melaju di jalan tol? Tentu saja dengan melihat speedometer. Salah satu sobat saya waktu kuliah adalah seorang perwira penerbang TNI AU. Dia penerbang pesawat tempur Hawk yang bisa melaju melebihi satu Mach, di atas kecepatan suara.
“Gimana rasanya terbang di atas kecepatan suara?” tanya saya. Itu kecepatan yang sangat tinggi, sekitar 1500 km/jam.
“Ya, biasa saja,” kata dia.
“Loh?” saya keheranan.
“Iya, kan kita di dalam kokpit. Jadi nggak terasa angin, nggak terasa apapun. Di luar juga langit kosong, jadi tidak ada pohon-pohon yang berkelebat cepat..” kira-kira begitu sobat saya menjawab.
“Ooo…,” saya paham.
Satu-satunya hal yang menunjukkan pesawat tempur itu berjalan di atas kecepatan suara adalah panel instrumen di kokpit yang menunjukkan berapa kecepatan pesawat saat itu. Panel ini jelas akurat, karena bagi pesawat terbang kecepatan adalah informasi terpenting untuk mengendalikan pesawat.
Sejak saat itu saya peduli (’aware’ kata orang bule) dengan yang namanya ‘indikator’. Itulah cara kita mendapat umpan balik. Bayangkan Anda sedang menempuh perjalanan mudik, pasti selalu ingin tahu sudah sampai mana, jama berapa, ada apa sih di sekeliling Anda saat itu, di mana sih lokasinya di peta, supaya Anda bisa mengambil keputusan selanjutnya. Indikator menjadi hal kedua terpenting, setelah kita memiliki yang paling penting yaitu peta tujuan.
Salah satu indikator yang cukup lama saya cari adalah ‘indikator sukses finansial’. Pencarian itu saat ini dianggap cukup dengan ditemukannya formula ‘wealth ratio‘, yang menjawab pertanyaan esensiil tentang berapa banyak sih yang kita harapkan dari hasil bekerja. Indikator itu menjadi penuntun bagi saya untuk menyusun strategi pencapaian, dan sejauh ini sangat praktis dan berhasil. Saya belum mencapai target, tapi tahu bahwa suatu ketika, tak lama di masa depan, saya insya Allah akan sampai pada target itu. jadi, indikatornya tepat.
Kini pencarian dilanjutkan dengan pertanyaan lain yang sama pentingnya. Saya percaya bahwa tingkat pencapaian seorang manusia dalam kehidupan ini diawali dengan kemampuan merumuskan ‘pertanyaan berkualitas’ yang akan memancing otak super komputer kita untuk mencari jawabannya. Kalau dulu pertanyaan yang dirumuskan adalah, “Apa sih indikator kita sukses finansial?” maka pertanyaan kali ini lebih menantang, “Apa sih indikator kita ini di jalur benar menuju sukses di akhirat?”
Pertanyaan yang sulit. Sebab tidak ada orang di jaman ini yang berhak memberi status, apakah kita sedang menuju sukses akhirat, atau menjauhinya. Dulu di jaman Rasulullah Muhammad, beliau beberapa kali (sebagai bentuk pengajaran) memberi status ke beberapa sahabat, si anu masuk surga, si fulan masuk neraka. Ilmu itu ada di beliau. Lalu di jaman sekarang ini kita harus berpegang pada indikator apa?
Indikator ini semestinya adalah sebuah indikator praktis yang bisa kita pantau sendiri, persis seperti speedometer di sepeda motor atau mobil kita. Jadi kita tidak perlu orang lain yang memberi analisisnya buat kita. Percayalah, orang lain itupun sebaiknya memantau indikatornya sendiri daripada sibuk memantau indikator kita. Dia punya problem yang sama dengan kita.
Saya yakin indikator ini penting. Saya sering merasa bahwa pada waktu tertentu, misalnya saat bulan puasa ini, sepertinya banyak orang ‘mendadak jadi shaleh’. Sehingga kadang dalam hati ini juga agak malu dengan diri sendiri. Yang tadinya jarang ke mesjid, tiba-tiba semangat untuk tarawih. yang tadinya jarang mendengarkan pengajian, tiba-tiba hobi dengan ceramah dan lagu ruhani. Kemudian lebaran tiba, sibuk silaturahmi (sambil pamer ponsel), dan hilang kembali keshalehan mendadak tersebut. Nah loh.
Berarti pencapaian perilaku saat puasa itu sangat sesaat, bukan indikator yang praktis. Itu ibarat orang dapat proyek besar, lalu dapat uang banyak. Sekejap dia menjadi orang kaya yang sukses finansial. Lalu sibuk belanja. Lalu tak lama kemudian kembali menjadi orang yang punya hutang. Kekayaannya yang sekejap hanyalah indikator semu. Semestinya kita berpegang pada ‘wealth ratio’ itu, yang tak begitu kelihatan namun jauh lebih esensial. Seseorang boleh tampak sederhana, baju biasa saja, rumah biasa saja, kendaraan hanya sepeda motor. Tapi orang ini merdeka karena pasif income nya melebihi pengeluarannya setiap bulan. Orang ini kaya. Sebaliknya seseorang punya mobil mewah, rumah keren, dengan gaya hidup yang mewah. Tapi pasif income nya nol besar. Jelas yang ini cuman ‘kelihatan’ kaya, aslinya sih miskin. Demikian juga dengan amalan itu, jangan-jangan keshalehan mendadak di bulan puasa itu akhirnya hanya indikator yang melenakan. Merasa sudah akan sukses di akhirat, eh ternyata masih termasuk yang dimurkai Tuhan. Demikian pula dengan yang bolak-balik umroh maupun haji berkali-kali, jangan-jangan ya ditolak semua ibadahnya itu.
Jadi apa ya, indikator yang tepat bahwa kita ini (kira-kira) menuju kesuksesan di akhirat?
Sejauh ini, walau belum intensif dicari, jawabannya pasti ada di Qur’an dan hadits. Mari kita cari yang praktis, yang setiap saat dengan mudah kita bisa mengukurnya tanpa harus minta tolong orang lain memberi evaluasi buat kita.
Dulu sekali waktu membaca buku Al Ghazali tentang rahasia shalat, ada satu hal yang melekat dalam benak ini. Kata Al Ghazali, kalau kita ingin bangun malam shalat tahajud, maka syaratnya adalah hari sebelumnya tidak melakukan maksiat. Kalau kita bersih, maka bangun menjadi mudah. Kalau ada maksiat, maka bangun menjadi sulit. Pengalaman sih, Al Ghazali benar. Rasanya memang ada hubungan sebab akibat yang kuat antara kualitas amal sebelumnya dengan kemudahan amal berikutnya. Berarti kalau makin lama makin nyaman beramal shaleh (shalat, sedekah, mengajar ilmu, bekerja dengan tulus, tidak ngerumpiin orang lain, dll) berarti kita di jalur yang benar. Tren nya bergerak naik, mestinya. Mungkinkah ini indikator yang tepat? Cara memberi skornya bagaimana ya?
Atau mungkin indikator yang lebih tepat adalah jumlah shalat khusyu yang kita rasakan? Katanya, khusyu itu karunia, sesuatu yang diberikan kepada kita yang ingin bersungguh-sungguh shalat. Mendapat khusyu itu ciri kita di jalur yang benar. Jadi kalau dalam satu hari kita sholat 5 kali dan tidak khusyu semua, berarti skor ’speedometer’ kita nol (sepertinya seringkali skor kita yang ini nih!). Kalau satu sholat saja kita rasakan khusyu maka skor kita 20 persen, kalau semuanya khusyu berarti sukses skor 100 persen. Skor berguna, seperti halnya angka-angka di speedometer. Walaupun mungkin skor kita naik turun, ya nggak papa, daripada tanpa skor sama sekali.
Sejauh ini kira-kira di sekitar itulah diduga letak indikator yang praktis untuk kita pantau sehari-hari. Semestinya indikatornya kombinasi, satu untuk hubungan kita langsung dengan Tuhan dan satu lagi untuk ibadah sosial, supaya menggambarkan amalan yang lebih luas. Misalnya, jumlah shalat khusyu dan persentase sedekah dari penghasilan. Dua indikator ini cukup praktis karena mudah memantaunya dan dapat dibuat menjadi skor. Tentu saja ini buat diri sendiri, jadi terserah masing-masing untuk membuat indikator sendiri. Yang jelas, tanpa indikator akan berakibat hidup ini menjadi sulit diarahkan, lalu bisa terjadi kita terkejut dan menyesal di kemudian hari, ketika telah tiba masa kita nanti untuk berpulang.
Indikator, kawan, indikator… mari kita cari untuk menyelamatkan diri kita masing-masing dalam menempuh ujian singkat yang hanya 0,15 detik kosmik di dunia ini.
http://terobosanhidupsukses.blogspot.com




No comments:

INDIKATOR SUKSES KEHIDUPAN

  “Emmm… Pak, kecepatannya seratus saja,” kata saya kepada pak sopir. “Saya takut kalau cepet-cepet…,” kata saya lagi, menegaskan p...

Powered by Blogger.